Latest Entries »

Monday, February 22, 2010

Koksidiosis (Isospora) pada hewan kecil


Koksidia adalah mikroskopik parasit yang hidup disaluran pencernaan dari anjing dan kucing. Penyakit ini seringkali ditemukan, tetapi sangat jarang menyebabkan gejala pada hewan dewasa. Pada anak anjing dan kucing gejala yang sering adalah diare (Barchas, 2010). Penyebab penyakit ini adalah protozoa dari Genus Isospora : Isospora rivolta, Isospora canis dan Isospora felis. Spesies tersebut diatas diketahui dapat menginfeksi anjing dan kucing (Subronto, 2006).

Patogenesis
Anjing atau kucing yang terinfeksi melepaskan ookista koksidia di dalam feses. Pada kondisi yang lembab dan hangat, ookista bersporulasi menjadi stadium infektif dalam 3-5 hari.
Anjing terinfeksi jika memakan pakan atau minum yang terkontaminasi tanah atau feses yang mengandung ookista infektif . Didalam usus, ookista ruptur dan melepaskan sporozoit, yang kemudian akan melakukan penetrasi ke dalam sel epitel usus, kemudian berkembang biak di sana, dan akhirnya merusak sel hospes.
Mekanisme yang lain, yaitu koksidia dapat ditularkan secara vertikal. Anak anjing dapat terinfeksi koksidia sebelum dilahirkan jika induk terinfeksi koksidia semasa masih menjadi anak anjing dan menjadi carrier (Vet-Klinik.Com, 2008).

Gejala Klinis
  • Diare merupakan gejala paling umum terjadi, frekuensi diare bervariasi. Pada beberapa kasus diare bisa diikuti dengan adanya darah.
  • Jika tidak segera dilakukan pengobatan terhadap diare maka hewan akan mengalami dehidrasi, anemia, kurus, lemah dan akhirnya mati.
  • Anjing atau kucing dewasa yang terinfeksi biasanya asimptomatis, tapi dapat menularkan penyakit pada hewan lain dan menyebarkan ookista infektif ke dalam lingkungan melalui kontaminasi feses.


Diagnosa
Diagnosa koksidiosis adalah dengan mengamati gejala klinis dan identifikasi ookista dalam sampel feses pada mikroskop dengan pembesaran 400x.
Diagnosa banding koksidiosis adalah infeksi-infeksi enterik akibat virus (Parvo Virus) dan penyakit-penyakit intestinal akibat parasit yang lain (roundworm/Ascariasis) (Barchas, 2010).


Pengobatan
  • Pengendalian diare, mencegah dehidrasi dan anemia, serta mengeliminasi organisme infektif.
  • Pada kasus akut, penggantian cairan sangat penting (Terapi Cairan).
  • Sulfadimethoxine 55 mg/kg PO pada hari pertama kemudian 27.5 mg/kg satu kali sehari selama 9 hari (Veterinary Drug Handbook).
  • Sulfadiazine/Trimethoprim 30 mg/kg PO satu kali sehari selama 10 hari (Veterinary Drug Handbook).
Setelah pengobatan pemeriksaan feses harus terus dilakukan untuk memastikan protozoa tidak dalam jumlah yang banyak.

Daftar Pustaka

Barchas., E. 2010. Coccidia (Isospora) In Cats and Dogs. in http://drbarchas.com/coccidia
Anonim. 2008. Koksidiosis pada anjing dan kucing. Vet-Klinik.Com. in http://www.vet-klinik.com/Pets-Animals/Koksidiosis- pada-anjing-dan-kucing.html
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta.


Ringworm Pada Sapi


1. Etiologi

Penyebab ringworm pada sapi adalah jamur dermatofit yaitu jamur dari genus Trichophyton dan spesies Trichophyton verrucosum, T. mentagrophytes dan T. megninii . Di negara-negara yang beriklim tropis atau dingin, kejadian ringworm lebih sering, karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan selain kurang menerima sinar matahari secara langsung, juga sering bersama - sama di kandang, sehingga kontak langsung di antara sesama individu lebih banyak terjadi. Penyebaran infeksi dapat terjadi karena kontak langsung dengan hewan atau patahan bulu yang terinfeksi (Al-Ani et al, 2002).

2. Patogenesis

Ringworm hanya dapat tumbuh pada jaringan yang mengandung keratin seperti kulit, rambut dan kuku. Hal ini disebabkan karena ringworm menggunakan keratin sebagai sumber makanan (keratinophilic/keratinofilik). Ringworm menghasilkan enzim seperti asam proteinase, elastase, keratinase dan proteinase lain yang merupakan penyebab keratinolisis/keratinolytic. Ringworm pada sapi lebih banyak diderita oleh hewan muda daripada yang dewasa. Hal ini disebabkan karena pada hewan dewasa telah terbentuk kekebalan. Perubahan klinis dimulai dengan eritema, kemudian diikuti dengan eksudasi, panas setempat, dan terjadinya alopecia. Karena jamur tidak tahan dalam suasana radang, jamur berusaha meluas ke pinggir lesi, hingga akhirnya terbentuk lesi yang berupa lesi yang bulat atau sirkuler berwarna coklat kekuningan, dengan bagian tengahnya mengalami kesembuhan (Chermette et al, 2008).

3. Gejala Klinis

Pada sapi di bagian permukaan kulit dan bulu yang terinfeksi akan ditemukan adanya lesi berbentuk bulatan-bulatan seperti cincin dalam berbagai ukuran dan berwarna keputih-putihan, yang dalam keadaan intensif dapat disertai dengan adanya kerak-kerak peradangan dan kerontokan bulu. Lesi ini dapat ditemukan pula di daerah kepala, leher dan bahu. Pada sapi tidak dijumpai tanda-tanda kegatalan, hewan yang parah tubuhnya sangat kurus dan tidak ada nafsu makan (Al-Ani et al, 2002).

4. Diagnosa

Penyakit ini dapat dikelirukan dengan lesi yang diperlihatkan seperti infeksi bakteri dan dermatitis lainnya, namun dengan adanya bentuk cincin pada derah yang terinfeksi dan tidak adanya tanda-tanda kegatalan dapat memastikan bahwa hewan tersebut menderita penyakit ringworm (Scott, 1988). Untuk mendiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel kerokan kulit, serpihan kuku, rambut. Kemudian dapat diperiksa dengan pemeriksaan langsung dengan mikroskop atau dengan membuat biakan pada media. Pemeriksaan langsung mikroskop dengan cara membuat preparat native yang diberikan potasium hydroxide (KOH) 10% kemudian diamati dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dan 400x. Pada biakan/kultur media, sampel yang diambil dari hewan suspect ringworm diberikan KOH 20% dan ditumbuhkan pada media Sabouraud Glucose Agar (SGA) yang ditambah chloramphenicol dan cycloheximide untuk menghambat kontaminasi bakteri dan jamur saprofic. Media di inkubasi selama 4 minggu dengan temperatur 28 sampai 30ºC (Ozkanlar et al, 2009).

5. Pengobatan

Meski secara alamiah dapat sembuh sendiri namun pengobatan pada hewan penderita harus dilakukan. Mekanisme secara alamiah untuk menghilangkan infeksi ringworm dapat terjadi akibat berhentinya produksi keratin sebagai akibat dari reaksi peradangan. Terdapat beberapa kelompok obat dengan berbagi cara dapat dipakai untuk menghilangkan ringworm, yaitu obat Iritan bekerja untuk membuat reaksi radang sehingga tidak terjadi infeksi dermatofit, obat keratolitik bekerja untuk menghilangkan ringworm yang hidup pada stratum korneum dan obat fungisidal yang secara langsung merusak dan membunuh ringworm. Pengobatan dapat dilakukan secara sistemik dan topikal (Ahmad, 2005). Secara sistemik dapat diberikan preparat griseofulvin dengan dosis 7,5 - 10 mg/kg secara PO satu kali sehari. Secara topikal menggunakan mikonazol 2 % (Chermette et al, 2008) atau salep yang mengandung Asam benzoat 6 g, asam salisilat 3 g, sulfur 5 g, iodine 4 g and vaseline 100 g (Al-Ani et al, 2002)

6. Pencegahan

Salah satu cara yang efektif untuk pencegahan adalah meningkatkan kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Kandang sapi harus sering dijaga kebersihannya dengan membersihkan secara teratur, sapi diberikan konsentrat, rumput dan vitamin seperlunya (Ahmad, 2005). Vaksinasi dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ringworm. Mekanisme kerja vaksin adalah pengaktifan sel Th1 yang merangsang Cellular Mediated Immunity (CMI) yang ditandai dengan pelepasan cytokines interferon-c (IFN-c), interleukin 12 (IL-12), and IL-2 oleh sel epitel skuamosa yang merupakan sel utama epidermis (Lund and DeBoer, 2008). Vaksinasi adalah pencegahan yang baik pula, namun relatif mahal (Chermette et al, 2008).


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad R Z. 2005. Permasalahan Dan Penanggulangan Ringworm Pada hewan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lkzo05-47.pdf

Al-Ani F. K., F. A. Younes, and O. F. Al-Rawashdeh. 2002. Ringworm Infection in Cattle and Horses in Jordan. Acta Vet. Brno :71: 55-60. http://vfu-www.vfu.cz/acta-vet/vol71/pdf/71_055.pdf

Chermette. R., L. Ferreiro., and J. Guillot. 2008. Dermatophytoses in Animals. Mycopathologia. Springer Science and Business Media B.V. http://www.springerlink.com/content/y43610543658764u/fulltext.pdf

Laven R. 2004. Ringworm. National Animal Disease Information Servive Bulletins. http://www.nadis.org.uk/DiseasesCattle/Ringworm/RINGWO_1.html

Lund. A and D. J. DeBoer. 2008. Immunoprophylaxis of Dermatophytosis in Animals. Mycopathologia. Springer Science and Business Media B.V. http://www.springerlink.com/content/6241w828q4374715/fulltext.

Ozkanlar Y., M. S. Aktas and E. Kirecci. 2009. Mycozoonosis Associated with Ringworm of Calves in Erzurum Province Turkey. Department of Internal Medicine, Faculty of Veterinary Medicine, Atatürk University. Erzurum - TURKEY

Scott, DW. 1988. Large Animal Dermatology. In: Fungal Diseases. W.B. Saunders. http://www.scribd.com/doc/3273436/Fungal-Skin-Disease-large-animal

Sundari D. 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Grup PT Kalbe Farma. Jakarta. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_108_obat_tradisional.pdf